Pak, Aku Pulang

    

Foto dari pinterest.com

 Sudah sejak kepergian ibu, bapak tampak segar bugar dan bersih. Wajahnya yang mulai di serang guratan-guratan halus dimata di tengah usianya melebihi setengah abad. Aku mendekati bapak yang duduk di teras di temani kopi hitam. Aku duduk di sebelahnya. 

" Nduk, ibukmu mungkin sudah ada di surga." Matanya berkaca-kaca saat memandang langit biru yang kebetulan cuacanya cerah.

" Nggeh, Pak. Sudah terbaik di sisiNya." 

" Kalau semisal aku nyusul, Nduk. Aku belum menyaksikan pernikahanmu. Restuku selalu ngiringi kowe, Nduk." Masih melihat langit warna biru yang sekarang di lintasi burung yang aku sendiri tidak tahu namanya apa.

"Hust, Bapak ki omong opo to, Pak. Sampai cucu nanti masih bisa. Pak."

"Kita ndak pernah tahu rencana Sing Kuasa, Nduk." 

***

    Kebahagianku sudah tidak bisa di bendung. Usaha Coffee Shop yang ku bangun dengan Mas Abi, akhirnya sekarang sudah bisa buka cabang di daerah-daerah Indonesia. Hari ini pula, Mas Abi melamarku. Tidak sabar rasanya memeluk bapak. Aku dan Mas Abi menuju perjalanan pulang ke kampung.

" Gini Mas, nanti kalau ketemu sama bapak enggak usah takut. Emang aslinya dia enggak banyak omong. Sampeyan nanti kalau ngomong yang tegas. Bapak pasti ngerti kalau sampeyan itu sungguh-sungguh." Dadaku yang ketar-ketir.

" Terus Mas. Kakangku. Sekarang juga dinas di Sorong. Dia memang tentara lumayan terlihat garang. Tapi aslinya kalem. Nanti kalau Video call. Langsung gitu yang tegas dan lantang." Aku gugup membayangkan nanti videocall sama Kang Aji.

" Kalau kamu gugup, Dik. Nanti Mas ikutan gugup. Insyaallah kalau niat baik pasti diperlancar." Mas Abi menggenggam tanganku meskipun tangan satunya memegang kemudi mobil. Sikapnya cukup meredakan rasa cemas di dadaku.

Aku mengenal Mas Abi saat aku sedang kuliah dan aku membutuhkan dana lebih untuk mencukupi uang sakuku. Bukannya kurang, biaya hidup di kota lumayan menguras kantong.

Pertemuanku dengan Mas Abi sangat singkat. Dikenalkan dengan sabahatku namanya Karina. Lebih tepatnya Mas Abi itu abangnya Karina. Karina sahabatku dari sekolah menengah pertama hanya semenjak ia pindah ke Surabaya aku jarang ketemu namun masih bisa kontakan meski sempat putus.

Kebetulan sewaktu kuliah kita satu almamater. Aku di ajak kerumahnya, dari situlah aku mengenal Mas Abi, saat itu pula Mas Abi membutuhkan karyawan. Terutama di bidang keuangan. Untungnya aku jurusan ekonomi. Nyambung obrolan dengan Mas Abi.

Mungkin ini yang namanya takdir jodoh, kematian dan rezeki hanya yang di atas yang tahu.

***

Rasanya petir menyambar kepalaku. Sungguh aku linggung. Setibanya aku di rumah aku melihat bulik Mar menangis di teras di peluk beberapa ibu-ibu dan juga ada sekiranya beberapa orang yang berdiri.

Aku turun dari mobil dengan perasaan yang ketar-ketir.

" Ya, Allah, Nduk. Iki mau kowe, Nduk." Bulik Mar malah semakin berurai air mata.

" Ada apa bulik?"

" Bapak pulang, Nduk." 

Seketika tubuhku lunglai. Aku tidak sanggup menahan beratku. Air mataku mengucur deras.

" Pak, aku pulang. Tapi bapak buru-buru pulang. Sudah tidak sabar memeluk ibu? Aku juga pengen di peluk. Di nyanyikan tembang-temang dolanan." Aku berdialog dengan batin.



Cerita pendek ini murni imajinasi dari _____berbisik. Selalu sehat, salam literasi. Pupukpuk



Komentar

Postingan Populer